SAATNYA KAUM MUDA MEMIMPIN
Perubahan Kini di Depan mata. lalu .. siapa yang akan menyambanginya. Sudah Saatnya kita ... Kaum Muda Bangkit ... Karena ... Di tangan Kaum Muda Perubahan itu. akan tercapai ... dan ... harapan itu akan tergapai ... Ubahlah Mimpi jadi kenyataan. Bersama Kami .... Menuju !!! KEPEMIMPINAN MUDA UNTUK SEMUA
Posted on 06.36

Saatnya Kaum Muda memimpin

By YUNIAR KUSTANTO di 06.36

Himmatus syabab, hikmatus syukhuh*". Semangat pemuda dan kebijaksanaan
seorang tua. Demikian sebuah adagium Arab mengatakan. Itulah gambaran ideal
karakter seorang pemimpin. Ia bersemangat berapi-api seperti pemuda dan
bijaksana laksana orang tua. Tentang kebijaksanaan, Victor Frankl, pakar
psikologi kenamaan, mengatakan bahwa mereka yang mampu memaknai setiap
aktivitasnya dalam hidup memiliki kekuatan untuk bertahan hidup di dunia
yang fana ini.

Bersemangat dan bijaksana. Dua hal yang saling melengkapi dan tak jarang
menjadi kontroversi. Seperti wacana "presiden muda versus presiden tua" yang
disuarakan salah satu pimpinan parpol Islam yang bergayung sambut dengan
tantangan bersaing di panggung pemilihan presiden 2009 dari salah satu calon
presiden dari sebuah partai terbesar di Indonesia saat ini.

Pemuda, seperti yang asosiasi yang melekat padanya, mewakili sesuatu yang
baru, perubahan. Wacana serupa yang juga diusung Barack Obama, 47 tahun,
calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat yang bertema "*the
change we can believe in*". Perubahan dan memercayai perubahan, itulah
semangat muda yang diusung Obama yang juga didukung mayoritas kalangan muda
Amerika Serikat.

Yang unik, seperti adagium di atas, Obama yang merupakan kandidat presiden
keturunan Muslim dan kulit hitam pertama di negara adikuasa tersebut
menggandeng seorang politisi kawakan berusia 65 tahun – yang dianggap
berpengalaman dalam persoalan internasional – Joe Biden sebagai kandidat
wakil presiden. Di sisi lain, lawan Obama yang dianggap sebagai kalangan tua
– John McCain – yang merupakan kandidat presiden AS tertua sepanjang
sejarah, 72 tahun, juga menggaet Sarah Palin, seorang gubernur negara bagian
Alaska, berusia 44 tahun sebagai kandidat wakil presiden. Sepertinya mereka
percaya betul dengan adagium di atas. Lalu bagaimana dengan kita di
Indonesia?

*Muda versus tua?*

Wacana "presiden muda versus presiden tua" di Indonesia yang sempat hangat
bergulir di media massa, konon, melemah tuahnya seiring sedemikian banyaknya
*statement *perelatifan yang dilakukan kalangan politisi di Indonesia – yang
didominasi kalangan berusia 50-an tahun ke atas – yang gencar menyerukan
bahwa kualitas kepemimpinan tak memandang usia atau wacana tua-muda hanya
memecah belah bangsa. Sangat disesalkan wacana berharga yang sebetulnya bisa
menjadi gelindingan diskursus yang lebih serius dan formal mengenai peran
kepemimpinan pemuda dalam bangsa Indonesia ini layu sebelum berkembang.

Sebetulnya, berpijak dari wacana tersebut, kita sebagai anak bangsa dapat
merangkai dan mengurut secara historis rekam jejak kontribusi pemuda dalam
kepemimpinan bangsa ini. Setidaknya sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, sebagai
titik tolak bersama. Selanjutnya, berdasarkan kajian historis dan tinjauan
kekinian tersebut niscaya ada input produktif dan potensial bagi narasi
besar bangsa ini tentang konsep kepemimpinan bangsa ke depan, yang
jangkauannya tidak hanya sebatas hingga Pemilu 2009 tapi beberapa dekade ke
depan. Minimal dapat membuahkan sebuah konsep regenerasi atau suksesi
kepemimpinan negara yang teratur dan bervisi – namun dengan lebih humanis
dan demokratis -- seperti yang diterapkan Lee Kuan Yew di Singapura. Sayang
realitas politik praktis negeri ini terlalu kejam memangsa buah ide brilian
dari anak bangsanya sendiri.

Namun di sisi lain, sebagai pemuda, kita layak mengevaluasi dan
berintrospeksi apakah kontrbusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa (baca:
kepemimpinan pemuda) yang selama ini didengung-dengungkan – di mana
peristiwa Sumpah Pemuda secara kolektif dikenang sebagai tonggak historis –
merupakan mitos atau fakta. Sebagai komunitas atau bangsa, sesuai fungsinya,
kadang mitos memang diperlukan untuk membangkitkan semangat atau
membangkitkan kenangan heroik nan patriotik. Namun, mitos yang kelewat megah
juga acapkali membelenggu dan memanjakan para pengagum yang menganggapnya
sebagai hal yang *taken for granted*, diberikan begitu saja. Padahal
realitas keseharian kita membuktikan bahwa *no free lunch*, tidak ada hal
yang gratis alias diberikan begitu saja. Semua perlu ikhtiar dan tekad kuat.

Memang versi resmi rekaman sejarah nasional berbicara bahwa pada setiap
pergolakan kekuasaan di negeri ini kalangan muda selalu tampil terdepan.
Bahkan jauh sebelum 1928, pada tahun 1905, H. Samanhudi sebagai tokoh muda
pedagang batik dari Semarang tampil membangun SDI (Serikat Dagang Islam)
sebagai organisasi perjuangan melawan dominasi penjajahan. Tahun 1908, dr.
Soetomo dari STOVIA, sebuah sekolah dokter Jawa yang didirikan Belanda,
mendirikan Boedi Utomo. Gerakan-gerakan perjuangan kebangsaan tersebut
memuncak pada 1928 ketika berbagai *jong* atau *bond *pemuda dari berbagai
penjuru nusantara menyatukan tekad kebangsaan pada Kongres Pemuda II di
Jakarta.

Saat proklamasi 1945, Soekarno dkk yang berusia 45-an tahun bergerak
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1966, Soe Hoek Gie dkk gantian
menggulingkan rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno – tokoh pemuda yang
berubah menjadi tiran. Tahun 1974, Hariman Siregar dkk menggoyang dominasi
produk Jepang di Indonesia di bawah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Tahun
1998, gerakan reformasi 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa melengserkan
Soeharto -- seorang perwira muda berusia 46 tahun yang menggantikan Soekarno
sebagai presiden Republik Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) 1966 – dan menjelma menjadi diktator yang berkuasa selama 32
tahun. Selepas 1998 pun berbagai aksi demonstrasi – sebuah fakta yang kasat
mata – banyak dilakukan pemuda dalam hal ini kalangan mahasiswa dan
intelektual muda.

Apakah semua itu murni kontribusi pemuda? Tidakkah kelewat berat beban
sejarah tersebut dipanggul sendirian oleh kalangan muda sebagai satu
kalangan dari banyak elemen penyusun sebuah bangsa?

Maaf, jika terkesan terlalu skeptis. Seperti kata Rene Descartes, "*I think
therefore I am*." Untuk menemukan kebenaran, salah satunya, kita harus
mempertanyakan banyak hal secara kritis. Termasuk terhadap diri kita
sendiri.

Kahlil Gibran berkata, "Kita semuanya terpenjara, namun beberapa di antara
kita berada dalam sel berjendela. Dan beberapa lainnya dalam sel tanpa
jendela." Nah, haruskah kita terpenjara dalam berbagai dikotomi yang
menyekat kehidupan sosial bangsa seperti nasionalis-religius, tua-muda, atau
ortodoks-progresif?

*Siapakah pemuda?*

Ada tiga hal yang merupakan ciri pemuda: perubahan, semangat dan
kemandirian. Perubahan sarat dengan muatan visi, gagasan, kepedulian dan
harapan. John C. Maxwell berujar, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang
Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli." Dalam *The
Seven Habits for Highly Effective People*, Stephen R. Covey berpesan,
"Taburlah gagasan petiklah perbuatan; taburlah perbuatan petiklah kebiasaan;
taburlah kebiasaan petiklah karakter; taburlah karakter petiklah nasib."

Harapan, menurut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul *ESQ *(*Emotional
Spiritual Quotient*), 2005, adalah bahwa saat kita berjanji, sesungguhnya
kita menarik energi suara hati orang lain secara besar-besaran. Inilah yang
dinamakan harapan. Lalu energi itu kita bawa pulang, dan jika tidak kita
kembalikan ke sumbernya, keseimbangan orang lain akan terganggu. Harapan
(akan realisasi janji tersebut) telah kita tarik, dan belum kita kembalikan
(baca: janji belum terealisasi). Percayalah, setiap aksi akan menimbulkan
reaksi.

Sementara semangat mewakili aksioma optimisme dan proaktif. Menurut Stephen
R Covey, "Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam
menghadapi rintangan maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap
proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi." Lawan
proaktif adalah reaktif, lagi-lagi meminjam istilah Stephen R. Covey, "Reaktif
adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon saat mendapat
rangsangan atau stimulus dari orang lain."

Dan kemandirian mewakili muatan kritisisme dan nalar. "Menerima ide-ide
tanpa berpikir merupakan virus yang meracuni kebutuhan manusia akan
pembebasan, berolah nalar, bertanya dan berimajinasi," ujar Milan Kundera.
Menurut sastrawan dan cendikiawan dunia ini, hal tersebut menelan individu
dalam kerumunan kolektif. Kebutuhan manusia akan individualitas, prinsip dan
orisinalitas lenyap dalam komunalitas tanpa makna. Ya, komunalitas tanpa
makna inilah yang saat ini, dalam konteks lokal, dalam salah satu bentuknya
menjelma dalam demonstrasi atau tawuran brutal.

Dalam 80 tahun (1908-2008) kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa,
hukum besi semesta tersebut telah terbukti dalam berbagai bentuknya.

Namun, ada sebuah pertanyaan besar lain: apakah *pemuda *lebih merupakan
kata sifat atau kata benda? Perhatikan berbagai fakta sejarah tersebut di
atas. Sebagai kata sifat, ia tak butuh rupa fisik yang gagah. Sepanjang ia
memiliki semangat dan visi perubahan, ia adalah *pemuda*. Meskipun seorang
gaek sekalipun seperti Abdurrahman Wahid yang berusia 68 tahun. Sebagai kata
benda, ia memang harus muda, cergas dan lincah selayaknya Barack Obama. Tapi
banyak orang-orang muda gagah, berusia belia yang pemikirannya hanya
mengkopi ide-ide lama bahkan anti perubahan. Apakah mereka layak disebut *
pemuda* dalam artian sebenarnya?

Singkatnya, secara ideal, pemuda adalah kata sifat dan kata benda. Seorang
pemuda selain berusia muda (di bawah 50 tahun) juga memiliki visi perubahan
(ke arah yang lebih baik) dan memiliki semangat antusiasme yang besar.
Demikian juga soal *hikmatus syukhuh*, kebijaksanaan, yang erat
diasosiasikan dengan *privilege* kalangan tua—bahkan terkesan
dilegitimasikan dengan RUU Mahkamah Agung (MA) yang memperpanjang usia
pensiun hakim agung hingga usia 70 tahun – adalah hal yang juga lebih
merupakan kata sifat. Seorang pemuda, dengan intensitas dan interaksinya,
dapat memiliki kebijaksanaan tersebut dalam satu wujud. Tak perlu harus
dalam satu paket tua-muda seperti pola pencalonan kandidat presiden dan
wakil presiden di Amerika Serikat yang terkesan melestarikan dikotomi abadi
tersebut.

Jika ada standar saklek, itulah perubahan. Pemuda adalah perubahan. Itu
harga mati. Soekarno muda pada 1945 – tatkala usia 45 tahun--adalah seorang
pendobrak. Tapi ketika ia tak mau berubah, ia menjadi tiran, dan menua.
Soeharto muda mendobrak ekonomi bangsa selepas 1966 dengan konsep
pembangunan Repelita terencana. Tapi ketika ia tak mau berubah baik karena
alasan kroni atau korupsi, ia anti perubahan, ia menua. Lagi-lagi pemuda
adalah perubahan. Demikian hukum semesta yang berlaku pada kalangan
pergerakan dari Akbar Tanjung dkk (1966), Hariman Siregar dkk maupun
kalangan aktivis pergerakan 98 dan angkatan-angkatan pemuda yang akan terus
bermunculan.

*Yang muda yang memimpin*

Dalam kutipan panjangnya, Ary Ginanjar Agustian mengatakan,"Manajemen adalah
mengerjakan segalanya secara benar (*do the things right*); kepemimpinan
adalah mengerjakan hal-hal yang benar (*do the right thing*). Manajemen
melakukan efisiensi dalam menaiki tangga keberhasilan; sedangkan
kepemimpinan adalah menentukan apakah tangganya bersandar pada dinding yang
benar."

Untuk menentukan keberhasilan sang peletak tangga, kita memerlukan sumber
komitmen. Di level korporasi, Kouzes dan Postner (*Leadership Challenge*,
2002) mengatakan bahwa sumber komitmen yang tinggi bukanlah pada kokohnya *core
values* perusahaan tetapi lebih kepada *personal values* (nilai-nilai
pribadi) karyawan yang kokoh. Karena justru nilai pribadilah yang
sesungguhnya lebih tercermin dalam praktik kerja sehari-hari, bukan nilai
perusahaan. Inilah yang disebut *spiritual capital, *modal spiritual. Hal
ini dapat diproyeksikan dalam skup yang lebih luas yakni bangsa. Kita perlu
lapisan (baca: bukan hanya seorang tokoh atau pemimpin tunggal) pemimpin
yang berkomitmen berdasarkan modal spiritual.

Dalam konteks anatomi sejarah peradaban, kepemimpinan pemuda adalah hal yang
alamiah, fitrah. Di usia tua, seseorang cenderung lebih banyak berpikir dan
akibatnya cenderung lebih ragu atau takut memulai untuk sesuatu yang baru.
Sementara pemuda, dengan kemudaannya dan semangat menyala, cenderung
bertindak.

Namun, dalam banyak riwayat perjalanan sejarah, kalangan tua terbukti banyak
menyokong kalangan muda. Ini artinya kepemimpinan muda bukanlah hal yang
kelewat istimewa atau megah, yang harus dipuja-puja dengan meninggalkan atau
bahkan menginjak kalangan tua. Ia hanyalah merupakan pergiliran alamiah.

Maka membincangkan kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa adalah
membincangkan suatu bangsa secara utuh, tak bisa terlepas dari kontribusi
elemen bangsa yang lain termasuk kalangan tua. Dalam teori *marketing*,
semua segmen sama, dan pemuda hanyalah merupakan satu segmen yang tingkat
urgensinya tergantung konteks. Jadi kepemimpinan pemuda adalah suatu fakta.
Tapi ia bukan pemuda *an-sich*. Ia adalah bagian elemen anak bangsa yang
tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sebuah keluarga besar tak semua harus maju
terdepan. Tak lantas setiap orang muda membawa perubahan. Pemuda adalah kata
sifat dan kata benda, dan standarnya adalah perubahan. Sekalipun ia berusia
muda namun hanya membawa ide lama maka ia telah gagal sebagai
*pemuda*kendati mengusung bendera ormas pemuda dengan gegap-gempita.
Dan ia tak
layak sebagai pemegang estafet untuk menentukan ke arah mana tangga bangsa
akan disandarkan,

Seperti kata Isaac Newton, "*I could see farther because I was standing on
the giants' shoulders*." Jika para pemuda dapat memandang lebih jauh ke
depan, itu juga karena berpijak pada pengalaman dan kontribusi para raksasa
tua sebelumnya*. *Alangkah indahnya jika bangsa ini dapat menghapus segala
sekat dan dikotomi sosial yang ada dengan memerhatikan hukum besi semesta
dan sejarah bangsa yang merupakan *sunnatullah *bahwa adalah hak dan
kewajiban orang muda sebagai pemimpin dengan bimbingan kalangan yang lebih
tua sebagai pemandu. Jika demikian adanya, sebagai bangsa, kita *Insya Allah
* sangat yakin bahwa negeri ini pasti akan bangkit menjadi bangsa yang besar
sebagaimana sejarahnya di masa lampau. Percayalah, harapan itu masih ada.*
****

* Selamat 80 Tahun Sumpah Pemuda! Jayalah pemuda Indonesia!

Posted on 06.08

Tantangan Kepemimpinan Muda

By YUNIAR KUSTANTO di 06.08

Wacana kepemimpinan oleh kaum muda terus berembus kencang. "Saatnya kaum
muda memimpin" bergerak menjadi narasi besar pada tahun ini. Gaungnya makin
membumi tatkala Pemilu 2009 makin di depan mata. Kepemimpinan kaum muda
menjadi sesuatu yang dirindukan kehadirannya. Lahir dari keresahan akan
hegemoni kaum tua dalam lingkaran kepemimpinan nasional.

Hasrat itu kian menguat manakala menyaksikan kegagalan kaum tua dalam menata
dan memberdayakan bangsa ini. Kaum tua dianggap telah membawa bangsa ini
menuju jurang kehancuran yang kian dalam. Kepemimpinan kaum muda pun
disodorkan sebagai solusi karena kaum muda dianggap memiliki kompetensi,
integritas, kapabilitas, kreativitas, progresivitas, dan idealisme.
Keterbebasan kaum muda dari dosa masa lalu melahirkan harapan adanya
komitmen moral untuk membangun bangsa ini secara lebih baik.

Kaum Muda di Pentas Dunia

Sebelum 'demam Obama' melanda dunia, kita sudah disuguhkan para pemimpin
baru di pentas politik dunia yang memimpin negaranya sebelum mencapai usia
50 tahun. Dari Amerika Latin muncul Evo Morales, Presiden Bolivia yang
berusia 49 tahun. Mahmoud Ahmadinejad terpilih menjadi Presiden Iran pada
usia 49 tahun. Barack H. Obama yang sempat sekolah di sebuah sekolah dasar
negeri di Menteng, Jakarta Pusat, kini dalam usianya yang ke 47 tahun,
menjadi calon kuat presiden Amerika Serikat. Mereka bukan sekedar mengisi
sejarah kepemimpinan negaranya, tetapi menjadi idola baru, simbol perlawanan
dan juga harapan bangsanya.

Kendala Kaum Muda

Namun kepemimpinan kaum muda tentu saja bukan sesuatu yang mudah diraih.
Terlebih sistem rekruitmen politik dan kepemimpinan nasional saat ini tidak
cukup leluasa memberi ruang bagi kaum muda. Kaum muda Indonesia harus mampu
menjawab tantangannya sendiri. Terdapat sejumlah kendala yang bisa
menghadang kaum muda untuk tampil dan berperan dalam pentas politik Tanah
Air. Pertama faktor pengalaman. Umumnya kaum muda bisa dibilang miskin
pengalaman dalam "memikat" hati rakyat. Seseorang bisa tampil di panggung
utama politik jika dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu kemampuan "memikat"
hati rakyat menjadi sangat penting.

Statistik hasil pemilihan kepala daerah membuktikan kaum tua masih cukup
dominan memenangi pilkada. Masyarakat belum yakin dengan kepemimpinan kaum
muda karena belum cukup informasi dan bukti tentang kemampuan kaum muda.

Kedua, faktor "perlawanan" kaum tua yang masih memegang kuat hasrat
kekuasaan mereka. Sudah pasti ini akan menghambat laju kaum muda menuju
pentas utama politik baik di pusat maupun daerah. Ini dibuktikan dengan
sering tenggelamnya isu kepemimpinan kaum muda dengan dalih tidak ada
ketentuan perundangan soal usia pemimpin. Isu pemimpin muda juga sering
ditekan dengan alasan kaum muda belum terbukti berhasil dalam kepemimpinan.
Dari sudut sistem politik, sinyalemen itu bisa dibuktikan dengan membedah
sistem dan mekanisme partai politik yang dirancang sedemikian sehingga sulit
bagi kaum muda untuk menggeser posisi kaum tua.

Faktor ketiga adalah tantangan "mengendalikan" birokrasi manakala kaum muda
sudah berhasil menggenggam kekuasaan. Kita bisa belajar dari kepemimpinan
Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) di Jawa Barat. Dibutuhkan waktu lebih dari
100 hari pemerintahan mereka untuk melakukan reformasi birokrasi. Ini tak
lepas dari fakta bahwa lebih dari 90 persen level kepemimpinan di birokrasi
adalah kaum tua yang banyak terkait persoalan masa lalu.

Gagasan Perubahan

Namun demikian meski menghadapi aneka tantangan di atas, kaum muda harus
terus maju karena bangsa ini membutuhkan pemimpin baru yang memiliki
semangat, idealisme, integritas, dan terutama komitmen moral untuk membangun
bangsa. Kaum muda harus aktif memberi pencerahan politik sehingga masyarakat
terlibat dalam arus revolusi kepemimpinan di bilik-bilik suara.

Sebagai langkah awal kaum muda harus memberi bukti kepada rakyat bahwa kaum
muda membawa perubahan bangsa. Kita dapat belajar dari Barack Obama yang
mampu memikat hati masyarakat AS, bahkan masyarakat dunia melalui
penyampaian visi dan gagasan pembangunannya.

Jadi, kaum muda harus mulai membangun citra, menunjukkan potensi diri,
berupaya meraih simpati rakyat, sehingga rakyat memilihnya sebagai wakil
rakyat dan pemimpin.

Kaum muda juga perlu menggalang kekuatan dan solidaritas di antara sesama
pemuda untuk membenahi rekruitmen politik. Saat ini solidaritas di kalangan
aktivis pemuda masih terbelah dalam isu dan kepentingan sektoral. Kaum muda
belum satu kata dalam menggalang visi kepemimpinan kaum muda di Indonesia.

Di tengah itu semua, ada juga kabar menggembirakan dengan masuknya para
aktivis muda ke ruang publik melalui partai politik. Boleh jadi ini jalan
pintas untuk menampilkan kepemimpinan kaum muda. Namun ke depan masalah
rekruitmen politik harus menjadi agenda besar kaum muda. Rekrutmen politik
menjadi sangat penting karena merupakan indikator yang sensitif dalam
melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat
politik. Memperbaiki rekrutmen politik berarti memuluskan jalan kaum muda
menuju pentas politik nasional. Kini saatnya bagi kaum muda untuk
merealisasikan gagasan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.

Posted on 06.04

Kolom kosong bagi kepemimpinan muda

By YUNIAR KUSTANTO di 06.04

BENARKAH pendapat banyak orang bahwa kita bisa bercermin pada pers. Artinya, apa pun yang terjadi di depan mata kita, pasti terpampang juga di media massa. Apalagi pers di zaman ini terasa begitu sakti, sepertinya para wartawannya punya jauh lebih banyak mata dan telinga bila dibandingkan dengan insan pers pada era sebelumnya.

Maka, ketika saya membaca beberapa surat kabar nasional yang terbit di daerah dan di ibukota, saya menangkap bila sekarang ini mencuat kebutuhan akan kepemimpinan yang baru. Headlin di sebuah media massa misalnya, jelas-jelas menyerukan bahwa "Kejagung Butuh Wajah Baru ". Media lainnya hadir dengan headline yang juga meneriakkan kepentingan yang serupa; "Indonesia Butuh Birokrat Tangguh.

"Apa yang tersaji di televisi pun "setali tiga uang", ada talkshow yang membahas tentang peluang "wajah baru dalam kepemimpinan nasional kita". Stasiun televisi lainnya menyajikan debat yang menakar peluang para pemimpin muda yang harus bersaing keras dengan beberapa pemimpin sepuh untuk meraih kursi RI 1.

Wacana perlunya para pemimpin muda untuk maju ke depan memegang tampuk kepemimpinan nampaknya dianggap serius oleh para pemimpin sepuh (tak saja dalam usia, namun mereka memang sudah benarbenar kenyang makan asam-garam di dunia politik), sehingga tercipta iklim yang cukup kompetitif. Tentang hal ini, sebuah media massa di ibukota bahkan menurunkan sebuah analisis dengan judul yang cukup menegangkan: Menjelang "Perang Kurusetra".

"Perang Kurusetra", dalam ingatan kolektif sebagian besar dari kita adalah perang saudara Bharatayuda. Apakah persaingan dalam Pemilu 2009 akan benar-benar seperti itu? Terutama di antara kalangan tua dan muda? Saya minta pendapat seorang teman tentang kemungkinan yang bakal terjadi.

"Ah, faktanya masih begitu-begitu saja," jawab teman saya. "Begitu-begitu saja bagaimana?," kata saya mengejar jawabannya.

"Masih nama-nama lama, mereka yang tergolong sebagai orang tua. Terus terang banyak yang merindukan tampilnya tokoh baru yang berusia muda," sahut si teman.

"Mungkin yang muda dianggap kurang pengalaman, sehingga kurang mampu membereskan keadaan."

"Ah, siapa bilang anak muda tak becus menata masa depan? Bacalah lagi buku sejarah kita. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Jenderal Sudirman, dan masih banyak lagi. Mereka hadir di pentas nasional dalam usia muda. Dan siapa yang bilang bila Soekarno-Hatta tak bisa membereskan keadaan? Siapa yang membantah bila Sudirman muda tak bisa memimpin Angkatan Perang sebuah negara baru yang bernama Indonesia?" jawab teman saya dengan ekspresi wajah yang serius.

Saya menanggapi dengan menyodorkan fakta, bahwa sejarah juga merangkai kiprah para pemimpin yang berusia tua. Dan mereka bukan orang lemah. Eropa misalnya, bangkit dari kehancuran Perang Dunia II berkat sepak terjang para "singa" tua seperti Conrad Adenauer (Jerman Barat, 86 tahun), Charles De Gaulle (Prancis 71 tahun), sambil menambahkan, "Selain banyak pengalaman, mereka juga lebih bijak. Seperti pepatah yang berkata " age brings wisdom ".

Di atas kertas, sebenarnya persaingan antara calon pemimpin muda dengan pemimpin sepuh tidak begitu terbuka, karena nama-nama dari kalangan muda juga belum banyak menonjol ke permukaan. Sedangkan beberapa nama yang mulai dimunculkan belum memiliki kredit point yang cukup melegakan. Paling tidak, mereka tak hanya tampil sekedar nama, namun sebaiknya juga disertai kapasitas dan prestasi sebagai orang yang bisa "membereskan keadaan".Hal seperti inilah yang menjadi modal keberhasilan Barrack Obama.

Apalagi selain bekal popularitas dari kiprah politik mereka pada era sebelumnya adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab para pemimpin sepuh untuk terus melanjutkan kiprah politiknya, walau mereka sudah lengser dari tampuk kepemimpinan, yakni adanya dukungan massa yang berdasarkan keyakinan (faith-based support), bukan dukungan berdasarkan fakta (fact-based support) seperti yang ditunjukkan oleh para pemilih dari kalangan kelas menengah kita.

Saya menduga, apakah hal seperti ini yang membuat dukungan kepada Megawati (yang memiliki basis massa wong cilik, mereka yang memberikan dukungan berdasarkan faktor karisma) meningkat popularitasnya dalam beberapa polling, dibandingkan dengan SBY (yang memiliki massa kelas menengah, yang memberikan dukungan berdasarkan fakta keberhasilannya) yang justru menurun popularitasnya.

Teman saya malah lebih antusias berkata, "Aku iseng saja bertanya pada para sopir angkot. Siapa yang akan mereka pilih pada Pilgub nanti? Me-reka bilang akan memilih calon dari PDIP. Yang mengejutkan, pilihan mereka hanya disebabkan karena ingin membalas jasa Bung Karno sebagai orang yang berjasa besar kepada bangsa dan negara," katanya.

Apakah ini berarti filosofi dan konsep dukungan pada kekuasaan perlu ditafsirkan kembali? Situasi yang terjadi pada pentas sosial-ekonomi dan politik kita akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kemampuan para elit untuk bertahan (survival of elites) akan ditentukan oleh seberapa jauh mereka mampu membuktikan komitmennya untuk menyejahterakan masyarakat dengan mengatasi berbagai krisis yang terjadi.

"Benar. Bukankah hidup adalah perbuatan?" sambut teman saya sambil mengutip slogan dalam sebuah iklan politik di televisi.

"Ya. Inilah kolom kosong yang masih perlu diisi oleh para pemimpin muda yang ingin maju ke depan. Mereka tak cukup tampil dan memperkenalkan diri lewat iklan. Bila selama ini mereka tidak berbuat jasa kepada bangsa dan negara, apakah mereka bisa menanamkan keyakinan pada rakyat banyak untuk memilihnya pada pemilu mendatang?"