SAATNYA KAUM MUDA MEMIMPIN
Perubahan Kini di Depan mata. lalu .. siapa yang akan menyambanginya. Sudah Saatnya kita ... Kaum Muda Bangkit ... Karena ... Di tangan Kaum Muda Perubahan itu. akan tercapai ... dan ... harapan itu akan tergapai ... Ubahlah Mimpi jadi kenyataan. Bersama Kami .... Menuju !!! KEPEMIMPINAN MUDA UNTUK SEMUA
Posted on 06.04

Kolom kosong bagi kepemimpinan muda

By YUNIAR KUSTANTO di 06.04

BENARKAH pendapat banyak orang bahwa kita bisa bercermin pada pers. Artinya, apa pun yang terjadi di depan mata kita, pasti terpampang juga di media massa. Apalagi pers di zaman ini terasa begitu sakti, sepertinya para wartawannya punya jauh lebih banyak mata dan telinga bila dibandingkan dengan insan pers pada era sebelumnya.

Maka, ketika saya membaca beberapa surat kabar nasional yang terbit di daerah dan di ibukota, saya menangkap bila sekarang ini mencuat kebutuhan akan kepemimpinan yang baru. Headlin di sebuah media massa misalnya, jelas-jelas menyerukan bahwa "Kejagung Butuh Wajah Baru ". Media lainnya hadir dengan headline yang juga meneriakkan kepentingan yang serupa; "Indonesia Butuh Birokrat Tangguh.

"Apa yang tersaji di televisi pun "setali tiga uang", ada talkshow yang membahas tentang peluang "wajah baru dalam kepemimpinan nasional kita". Stasiun televisi lainnya menyajikan debat yang menakar peluang para pemimpin muda yang harus bersaing keras dengan beberapa pemimpin sepuh untuk meraih kursi RI 1.

Wacana perlunya para pemimpin muda untuk maju ke depan memegang tampuk kepemimpinan nampaknya dianggap serius oleh para pemimpin sepuh (tak saja dalam usia, namun mereka memang sudah benarbenar kenyang makan asam-garam di dunia politik), sehingga tercipta iklim yang cukup kompetitif. Tentang hal ini, sebuah media massa di ibukota bahkan menurunkan sebuah analisis dengan judul yang cukup menegangkan: Menjelang "Perang Kurusetra".

"Perang Kurusetra", dalam ingatan kolektif sebagian besar dari kita adalah perang saudara Bharatayuda. Apakah persaingan dalam Pemilu 2009 akan benar-benar seperti itu? Terutama di antara kalangan tua dan muda? Saya minta pendapat seorang teman tentang kemungkinan yang bakal terjadi.

"Ah, faktanya masih begitu-begitu saja," jawab teman saya. "Begitu-begitu saja bagaimana?," kata saya mengejar jawabannya.

"Masih nama-nama lama, mereka yang tergolong sebagai orang tua. Terus terang banyak yang merindukan tampilnya tokoh baru yang berusia muda," sahut si teman.

"Mungkin yang muda dianggap kurang pengalaman, sehingga kurang mampu membereskan keadaan."

"Ah, siapa bilang anak muda tak becus menata masa depan? Bacalah lagi buku sejarah kita. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Jenderal Sudirman, dan masih banyak lagi. Mereka hadir di pentas nasional dalam usia muda. Dan siapa yang bilang bila Soekarno-Hatta tak bisa membereskan keadaan? Siapa yang membantah bila Sudirman muda tak bisa memimpin Angkatan Perang sebuah negara baru yang bernama Indonesia?" jawab teman saya dengan ekspresi wajah yang serius.

Saya menanggapi dengan menyodorkan fakta, bahwa sejarah juga merangkai kiprah para pemimpin yang berusia tua. Dan mereka bukan orang lemah. Eropa misalnya, bangkit dari kehancuran Perang Dunia II berkat sepak terjang para "singa" tua seperti Conrad Adenauer (Jerman Barat, 86 tahun), Charles De Gaulle (Prancis 71 tahun), sambil menambahkan, "Selain banyak pengalaman, mereka juga lebih bijak. Seperti pepatah yang berkata " age brings wisdom ".

Di atas kertas, sebenarnya persaingan antara calon pemimpin muda dengan pemimpin sepuh tidak begitu terbuka, karena nama-nama dari kalangan muda juga belum banyak menonjol ke permukaan. Sedangkan beberapa nama yang mulai dimunculkan belum memiliki kredit point yang cukup melegakan. Paling tidak, mereka tak hanya tampil sekedar nama, namun sebaiknya juga disertai kapasitas dan prestasi sebagai orang yang bisa "membereskan keadaan".Hal seperti inilah yang menjadi modal keberhasilan Barrack Obama.

Apalagi selain bekal popularitas dari kiprah politik mereka pada era sebelumnya adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab para pemimpin sepuh untuk terus melanjutkan kiprah politiknya, walau mereka sudah lengser dari tampuk kepemimpinan, yakni adanya dukungan massa yang berdasarkan keyakinan (faith-based support), bukan dukungan berdasarkan fakta (fact-based support) seperti yang ditunjukkan oleh para pemilih dari kalangan kelas menengah kita.

Saya menduga, apakah hal seperti ini yang membuat dukungan kepada Megawati (yang memiliki basis massa wong cilik, mereka yang memberikan dukungan berdasarkan faktor karisma) meningkat popularitasnya dalam beberapa polling, dibandingkan dengan SBY (yang memiliki massa kelas menengah, yang memberikan dukungan berdasarkan fakta keberhasilannya) yang justru menurun popularitasnya.

Teman saya malah lebih antusias berkata, "Aku iseng saja bertanya pada para sopir angkot. Siapa yang akan mereka pilih pada Pilgub nanti? Me-reka bilang akan memilih calon dari PDIP. Yang mengejutkan, pilihan mereka hanya disebabkan karena ingin membalas jasa Bung Karno sebagai orang yang berjasa besar kepada bangsa dan negara," katanya.

Apakah ini berarti filosofi dan konsep dukungan pada kekuasaan perlu ditafsirkan kembali? Situasi yang terjadi pada pentas sosial-ekonomi dan politik kita akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kemampuan para elit untuk bertahan (survival of elites) akan ditentukan oleh seberapa jauh mereka mampu membuktikan komitmennya untuk menyejahterakan masyarakat dengan mengatasi berbagai krisis yang terjadi.

"Benar. Bukankah hidup adalah perbuatan?" sambut teman saya sambil mengutip slogan dalam sebuah iklan politik di televisi.

"Ya. Inilah kolom kosong yang masih perlu diisi oleh para pemimpin muda yang ingin maju ke depan. Mereka tak cukup tampil dan memperkenalkan diri lewat iklan. Bila selama ini mereka tidak berbuat jasa kepada bangsa dan negara, apakah mereka bisa menanamkan keyakinan pada rakyat banyak untuk memilihnya pada pemilu mendatang?"

0 komentar